Selasa, 23 Oktober 2007

Pemanfaatan Aset Publik sebagai bagian dalam Perencanaan dan Implementasi Manajemen Pembangunan Wilayah dan Kota

Pendahuluan
Pembangunan kota sebagai pengejawentahan dan implementasi dari perencanaan kota, pada prakteknya seringkali didominasi oleh sektor swasta atau lebih dikenal sebagai sektor properti. Bahkan pada pembangunan kota-kota baru diindikasikan lebih dari 50%-70% pembangunannya dilakukan oleh sektor properti, sedang sektor publik indikasinya tidak lebih dari 30% dari seluruh pembangunan kota berupa penyediaan prasarana, sarana, fasilitas dan utilitas kota. Namun dengan angka pencapaian yang lebih kecil namun pembangunan infrastruktur publik merupakan peran utama pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik sekaligus sebagai fasilitator dan akselerator pembangunan.
Bagi kota-kota yang berkembang secara alami kontribusi pembangunan fisik kota didominasi oleh masyarakat dan properti swasta yang tidak terarah(sporadis) dengan dukungan sarana-prasarana publik oleh pemerintah yang minimalis sebagaimana pendekatan Basic Need, yang pada akhirnya sekarang ini mau tidak mau akan berkembang dengan pendekatan Demand-Suplly akibat tuntutan perkembangan kota yang sangat kompetitif.
Secara spasial keruangan dan distribusi fungsional pemanfaatan ruang perkotaan terutama bagi kota yang terencana, terbangunnya struktur kota atas dasar suatu keputusan perencanaan yang merupakan keputusan bersama antar stakeholder. Karena begitu banyak pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan perencanaan seringkali diibaratkan sebagai arena permainan (games) : pengambilan keputusan perencanaan land use, dapat dilihat sebagai permainan yang dilakukan oleh banyak aktor pembangunan yang berasal dari suatu kompetisi multi partai dalam mengarahkan pola land use kedepan (Kaiser, J. Edward, 1995). Aktor-aktor pembangunan atau stakeholder tersebut sering dipengaruhi faktor interest terhadap kepentingan masing-masing, sehingga yang terjadi adalah adu kekuatan dan pengaruh ke proses perencanaan dan pengambilan keputusan pada ruang perkotaan yang tidak akan pernah bertambah kuantitas luasnya, sehingga seringkali ruang perkotaan dibuat sedemikian rupa layaknya bermain game diatas papan catur.
Proses permainan tersebut merupakan suatu konsekuensi sistem manajemen pembangunan kota, dan selaku manajer pengambil keputusan adalah planer yang akan menjadi juri dan sekaligus pengarah pembangunan, sehingga antara kepentingan investasi swasta, kepentingan pelayanan publik dan kepentingan masyarakat akan tercapai keseimbangan pembangunan.
Dalam permainan tersebut, seringkali pihak swasta menuntut keuntungan yang besar dengan pengembalian investasi yang cepat, sedangkan masyarakat selaku konsumen pelayanan menuntut pemerintah atau siapapun pihak swasta yang memberikan pelayanan publik agar pelayanannya prima, murah, terjangkau, effisien dan optimal bahkan bilamana perlu gratis. Konflik kepentingan tersebut kerap terjadi pada saat bersentuhan antara kepentingan investasi swasta dengan kepentingan pelayanan publik, namun sebaliknya juga tidak menutup kemungkinan justru terjadi pengaruh positif manakala investasi swasta bersinggungan dengan pelayanan publik.
Bagi sektor swasta, dalam menginvestasikan kegiatannya cenderung memilih lokasi pengembangan yang strategis sehingga dapat dikatakan pengisian pembangunan kota seperti katak loncat (frog jumping), banyak terlihat pada pilihan lokasi real estate atau pembangunan perumahan skala besar. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencari keuntungan yang besar dari sisi lahan dan dicapai dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya, disinilah tanpa diduga sebelumnya, ternyata memberikan potensi konflik antara sektor swasta dengan masyarakat sekitar yang memerlukan pelayanan publik yang memadai. Namun tidak bisa dipungkiri, kehadiran pengembang atau investasi swasta dibidang properti bisa pula memberikan dampak positif dan seringkali mempengaruhi nilai lahan (land value) disekitarnya yang dimiliki masyarakat, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada perubahan harga lahan (land price) di daerah perkotaan, namun dilain pihak mengakibatkan penyediaan lahan untuk pembangunan fasilitas pelayanan publik dan prasarana kawasan terutama infrastruktur pekerjaan umum (IPU) menjadi mahal dan pada akhirnya sarana-prasarana publik tersebut terbengkalai, tidak terbangun, dan menjadikan proses pembangunan kawasan tidak seperti yang diharapkan.
Perkembangan Kota merupakan dampak dari semakin meningkatnya aktivitas perekonomian dimana hal tersebut berdampak pada peningkatan standar hidup masyarakat serta peningkatan kesadaran akan pentingnya sebuah lokasi perumahan yang dapat memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Kenyamanan tersebut diperoleh dari adanya jaminan keamanan, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung permukiman yang memadai, pelayanan yang memuaskan serta tidak tercampurnya aktivitas lain kedalam aktivitas permukiman. Hal-hal tersebut yang menyebabkan banyak masyarakat Kota yang pada akhir-akhir ini lebih memilih untuk bertempat tinggal pada suatu kawasan real estate terutama yang model kluster dibanding pada kawasan perumahan biasa atau pada kawasan perumahan publik yang dikembangkan oleh pemerintah.
Lahan merupakan modal dasar yang paling utama di dalam pembangunan kota. Lahan menjadi sumber daya yang terpenting apabila lahan tersebut memenuhi persyaratan dipilih untuk suatu kegiatan pembangunan. Sebenarnya tidak setiap bidang lahan dapat memenuhi syarat yang dikehendaki oleh pembangunan. Sebenarnya tidak setiap bidanglahan dapat memenuhi syarat yang dikehendaki oleh pembangunan tersebut, akan tetapi dengan input teknologi dan biaya/investasi tertentu, sebidang lahan yang semula tidak memenuhi syarat dapat dipersiapkan untuk dipilih. Secara kumulatif lahan di perkotaan memiliki nilai lahan (dalam arti land price) yang lebih tinggi karena adanya kelengkapan infrastruktur serta kemudahan yang relatif baik (Achmad Nurmandi, 1999).
Nilai lahan (land Price) bersifat dinamis. Kedinamisan nilai lahan tersebut adalah bentuk respon dari intervensi yang dialami oleh lahan itu sendiri. Nilai lahan antara sektor pemerintahan, industri, dan perumahan akan memiliki nilai yang berbeda. Pemanfaatan lahan untuk perumahan real estate kurang begitu menghendaki persyaratan lokasi yang terlalu khusus ketimbang untuk kedua kelompok sektor yang lain. Desakan kebutuhan perumahan karena meningkatnya penduduk di dalam kota menyebabkan pemilihan lokasi untuk perumahan menjadi lebih luwes (dalam arti tidak terlalu mengikat). Kebutuhan ruang untuk perumahan di perkotaan memerlukan hampir 60% lebih dari seluruh lahan perkotaan. Karena itu ada teknologi dan dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Karyoedi, 1999). Intervensi pengembangan perumahan real estate akan mempengaruhi secara langsung terhadap nilai lahan di sekitarnya baik nilai lahan di lokasi pengembangan ataupun nilai lahan di daerah sekitarnya. Kondisi tersebut disebabkan bukan hanya karena adanya aktivitas baru tetapi lebih dipengaruhi karena adanya pembaruan/pembangunan infrastruktur.
Fenomena pembangunan diperkotaan, khususnya dalam penyediaan hunian, secara nyata sering terjadi kedekatan antara realestate dan perumahan masyarakat, para ahli sosiologi perkotaan juga melihat kota di Negara berkembang, sebagai symbol dari ketidakadilan. Fenomena ketimpangan sosial ini ditunjukkan secara kontras, bagaikan sebuah panggung, pada kehidupan kota. Dalam skala kecil, berkurangnya kerekatan sosial di permukiman Jakarta merupakan akibat dari kekurangpekaan perencana kota dalam merancang dan membangun kotanya. Pelebaran jalan, walaupun pada satu sisi akan memperlancar arus lalu lintas, pada sisi lainnya ternyata menghilangkan nilai-nilai sosial kewargaan. Jalan di permukiman di daerah perkotaan, sebagaimana juga di banyak kota negara berkembang lainnya, merupakan tempat dimana interaksi sosial terjadi (the place of social interaction). Penelitian yang dilakukan oleh Allan Jacobs dan Donald Appleyard (1987) tentang interaksi penghuni dan lebar jalan memperlihatkan betapa akan terjadi pengurangan interaksi dengan makin diperlebarnya jalan permukiman. Itulah sebabnya maka kita tidak perlu heran melihat makin maraknya pertikaian antarwarga yang hanya dibatasi oleh sebuah jalan saja.
Tanpa disadari oleh banyak orang, kota-kota kita meniru perkembangan kota-kota di negara maju dalam melakukan segregasi secara kontras. Kurangnya rasa aman bagi sebagian penduduk telah menyebabkan timbulnya gated community atau Fortress City, komunitas yang secara semu dipisahkan dari sekitarnya melalui dinding-dinding inggi ataupun pagar-pagar yang kokoh. Konflik antar warga di kawasan permukiman Pesona Kahyangan di Depok misalnya, merupakan bukti bahwa segregasi melalui penciptaan komunitas yang terisolir ini akan menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Edward Blakely, yang melakukan penelitian tentang gated community di Amerika Serikat, menemukan bahwa sistem sosial kemasyarakatan semu yang ada di dalam komunitas yang terisolirpun tidak akan berkembang dengan baik. Di sisi lain, tingkat kecemburuan dan konflik antara masyarakat sekitar dan masyarakat di dalam “tembok” akan semakin tinggi karena kemungkinan hilangnya tempat- tempat ataupun akses yang selama ini dianggap sebagai public goods. Tak heran, semakin tebal saja mantra loe loe, gue gue dikalangan warganya. (http://www.pelangi.or.id /publikasi/ 2004/LLGG-2004.pdf)
Studi Kasus dibanyak kota, kehadiran perumahan real estate non cluster berdampingan dengan perumahan informal(disediakan oleh masyarakat sendiri), memang sudah lama ada. Tanpa disadari, pertemuan 2 kultur sosial yang berbeda ini akan menghasilkan suatu interaksi dalam kesehariannya, dan memungkinkan munculnya bentuk kemasyarakatan yang baru.
Memang saat ini para investor dibidang properti atau pengembang cenderung membangun kawasan dengan cara kluster (cluster) dalam kompleks perumahan-perumahan real estate yang oleh masyarakat sekitar sering dikatakan ekslusif, dan proses peng-kluster-an (clustering) bisa jadi merupakan hasil dari seleksi habitat dan pilihan utama sebagian masyarakat perkotaan terhadap kualitas lingkungan, akibatnya secara fisik kota terjadi kelompok-kelompok keruangan yang berbeda satu dengan yang lain, yang sering diartikan oleh masyarakat sebagai terminologi kita (us) dan mereka (them). Proses tersebut merupakan inklusif dan eksklusif dari suatu pembatasan keruangan dan lebih menekankan pada identitas sosial secara simbolis (Rapoport, 1977:248 ). Dengan peng-kluster-an tersebut sebenarnya membuat pembatasan secara fisik keruangan antara masyarakat sekitar dengan kawasan kluster, namun dapat menjadikan interelasi sosial yang harmonis apabila model peng-kluster-an bisa dirancang sedemikian rupa agar bisa membaur dengan masyarakat sekitar dengan membuka akses antar permukiman atau perumahan kluster tersebut, contoh hasil pengembangan perumukiman era Thomas Karsten yang banyak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia (Surabaya, Semarang, Jogja, Bandung, Jakarta).
Pada kasus peng-kluster-an model perumahan akhir-akhir ini, sebenarnya menjadikan trend gaya hidup masyarakat urban yang menginginkan kualitas hidup (Quality of Life/QoL) lingkungan perkotaan yang lebih baik, aman (secure), nyaman, elitis, eksklusif. Dilain pihak, infrastruktur pekerjaan umum/prasarana perkotaan yang dibutuhkan pada perumahan model kluster justru menjadikan biaya infrastruktur tersebut ditanggung oleh masyarakat luas tapi ditujukan untuk sekelompok masyarakat kluster. Hal tersebut memberikan implikasi mahalnya harga tanah disekitarnya, sedangkan taksiran harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai ukuran normatif tanah tidak bisa lagi digunakan dan justru harga pasar yang dihasilkan dari persaingan tidak sempurna tersebut yang berlaku. Kejadian seperti ini banyak terjadi sehingga taksiran harga tanah bisa melonjak jauh dari yang semula direncanakan sehingga nilai infrastruktur perkotaan ikut menjadi mahal disbanding dengan manfaat yang didapat bagi masyarakat luas.

Manajemen Pembangunan Kota
Sebenarnya permasalahan dalam pembangunan infrastruktur bukan saja datang dari faktor mahalnya harga tanah, namun secara keseluruhan tetap saja terfokus pada kompleksitas pertanahan, terutama dalam hal pembebasannya. baik dari aspek perizinan maupun dari sisi penggunanaan maupun pemanfaatan tanah yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Melihat begitu banyaknya peran maupun dimensi permasalahan serta tantangan dalam pembangunan infrastruktur, maka perlu diupayakan pencegahan guna meminimalisir munculnya permasalahan. Adanya ganti rugi kepada masyarakat karena pembebasan tanah ternyata menghadapi banyak kendala. Selain membutuhkan waktu yang lama karena sulit mencapai kesepakatan harga dengan pemilik tanah, ternyata ganti rugi secara fisik (dalam bentuk uang) saja tidak cukup.
Ada Key Words yang menarik jika kita berbicara mengenai investasi swasta dalam bidang properti dan sebaiknya dicermati oleh planner, penentu kebijakan, yaitu :
o Site looking for use, dalam praktek adalah hasil-hasil perencanaan spasial seperti RTRW,RDTRK dan turunannya
o Use looking site, dalam praktek adalah investasi, modal swasta maupun modal publik yang berlalu lalang mencari tempat, lokasi yang strategis dan seringkali tanpa menghiraukan adanya legalitas produk perencanaan seperti RTRW,RDTRK dan lainnya

Dalam penyelenggaraan pembangunan kota, ada 2 pihak yang sangat berperan yaitu sektor publik=pemerintah dan sektor privat=swasta. Sedangkan investasi properti sendiri yang berperan mengisi pembangunan kota bisa diklasifikasikan kedalam dua kategori, yaitu:
1. Properti yang bersifat komersial (sektor privat) seperti : gedung-gedung perkantoran, mall, bioskop, restaurant, apartement, dan fasilitas kota lainnya.
2. Properti yang bersifat non-komersial (sektor publik) seperti : bandara, terminal, stasiun, halte, jalan, dan sarana-prasarana publik lainnya.
Properti yang termasuk dalam kategori pertama bertujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari kegiatan yang dilakukan. Sedang untuk properti yang termasuk ke dalam kategori kedua tidak semata-mata mencari keuntungan dari investasi yang ditanamkan, tetapi lebih memfokuskan pada pelayanan kepada publik atau masyarakat seperti bandara, terminal, stasiun, halte dan prasarana jalan, serta sarana-prasarana perkotaan lainnya.
Namun kedua sektor tersebut dapat dan seyogyanya bekerjasama dalam bentuk kemitraaan dengan peran dan kontribusinya masing-masing sesuai kemampuan yang dimilikinya, dimana masing-masing pihak juga turut memiliki kewenangan, tanggung jawab dan resiko dalam batasan-batasan tertentu (World Bank Journal, 1997 : 1). Pemerintah melakukan kemitraan dengan pihak swasta dengan harapan dapat mengambil keuntungan dari keahlian pihak swasta dan untuk mengetahui bagaimanakah cara untuk meningkatkan efektivitas pelayanan terhadap masyarakat serta membuka akses untuk menarik penanaman modal baru di daerah.
Terkait dengan pengisian pembangunan kota pada umumnya, sektor publik dalam hal ini diwakili oleh pemerintah Kota/Kab cenderung lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan sektor privat/swasta sebagai pengembang atau realtor dan masyarakat luas sebagai konsumen membutuhkan pelayanan yang baik dan memadai dari kedua pihak tersebut.
Pola kemitraan yang ada pada dasarnya merupakan pembagian antara publik – privat yang meliputi 5 unsur, yaitu kepemilikan asset, operasional dan pengelolaan, investasi modal, resiko dan rentang waktu (World Bank Journal, 1997 : 2) . Bentuk-bentuk kemitraan publik – privat yang ada pada dasarnya mengandung adanya pembagian kewenangan, tanggung jawab dan resiko yang ditanggung dalam kelima unsur tersebut antara kedua pihak yang terkait.

Manajemen Aset/Properti Publik
Pada akhirnya untuk menjalankan operasional pembangunan kota, sudah barang tentu adalah bagaimana kita melaksanakan suatu manajemen, dalam hal ini manajamen aset publik, dan mempunyai beberapa pengertian (Wahyudi,2006) diantaranya :
1. Menurut Urban Insititute (1999;12), adalah proses pengambilan keputusan dalam perolehan, pemanfaatan dan penjualan/pelepasan aset publik;
2. Menurut World Bank (2000;4), manajamen aset merupakan suatu proses untuk perbaikan kondisi aset, perbaikan dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan manajemen aset strategis merupakan suatu pendekatan dalam mengembangkan dan memelihara aset yang dimiliki pemerintah daerah untuk menjamin bahwa :
· Persyaratan kebutuhan aset dan strategi manajemen aset ditentukan oleh tingkat pelayanan dan standar-standar kinerja;
· Sumber daya finansial yang terbatas dialokasikan secara tepat lalu dikelola untuk mengoptimalkan investasi aset;
· Menggunakan pendekatan jangka panjang siklus hidup ketika memutuskan operasi aset, perbaikan, perbaruan dan strategis pengembangan.
3. Menurut Lemer (2000:65), manajemen aset merupakan proses menjaga /memelihara dan memanfaatkan modal publik. Fokus dari manajamen aset publik adalah pada proses pengambilan keputusan atas pembangunan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan infrastruktur untuk mencapai total pengembalian modal publik yang maju

Manajemen aset properti ada 3 (tiga) komponen, (Urban Institute 2000;12 dalam Wahyudi,2006), sebagai berikut :

Inventarisasi
Mengembangkan dan memelihara data-data yang komprehensif atas properti publik yang dimiliki oleh instansi–instansi pemerintah Daerah. Karakteristik inventarisasi properti akan berbeda-beda untuk tiap kelas properti publik. Klasifikasi properti publik merupakan komponen penting dari manajemen aset sektor publik. Secara umum inventarisasi properti publik antara lain :
· Identifikasi properti
· Karakteristik ukuran properti
· Pemanfaatan saat ini
· Pembatasan-pembatasan pemanfaatan
· Pemanfaatan potensial (karakteristik ini dibutuhkan pada tingkatan strategis).
· Entitas yang mengelola (mengendalikan).

Pengelolaan / Akuntansi Properti
1. Mengembangkan dan memelihara sistem akuntansi dan manajemen properti publik yang komprehensif (dan terkomputerisasi) untuk setiap properti publik. Sistem ini seharusnya menyediakan pengawasan untuk penyewa, tingkat hunian, data sewa, dan laporan pendapatan dan biaya yang teratur. Biaya untuk mengembangkan dan mengelola Sistem Informasi Manajemen (SIM) properti publik akan diimbangi dengan pemanfaatan properti publik yang lebih efisien dan keputusan-keputusan penanganan/penghentian properti yang strategis.
2. Memasukan nilai setiap properti publik dan hak gadai finansial tiap properti dalam data base akuntansi. Macam-macam nilai properti publik seharusnya didefinisikan secara jelas dan dibuat secara eksplisit. Hutang yang berkaitan dengan setiap properti publik seharusnya nampak dalam sistem ini. Penilaian properti publik merupakan hal yang paling dicermati secara metodologis dan konseptual dan topik yang menjadi perdebatan dalam pengelolaan manajemen aset publik. Beberapa permasalahan dalam penilaian properti publik antara lain :
· Tidak semua properti publik mempunyai nilai yang kemungkinan besar dapat dijualbelikan atau dapat diperbandingkan dengan sektor swasta.
· Banyak aset yang memiliki nilai sosial yang sulit untuk dikuantifikasi.
· Nilai properti publik tergantung pada klasifikasi dan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh instansi-instansi pemerintah dan seringkali tidak selalu diketahui oleh publik sendiri.
· Standar-standar bagi penilaian properti publik sulit untuk diintrodusir dan didukung dengan penilaian properti privat.
· Penilaian merupakan proses yang mahal, oleh karena itu biaya juga merupakan suatu permasalahan.
· Keahlian para penilai aset/properti publik seringkali diragukan oleh banyak pihak, terutama oleh pihak privat dan perbankan pada umumnya.
3. Perlu menggunakan pendekatan manajemen properti sektor privat atau swasta dalam memperbaiki manajemen properti sektor publik. Manajemen properti privat telah dikembangkan secara baik didunia industri properti dan dapat diterapkan disektor publik.

Manajemen Aset
1. Merumuskan peran strategis properti publik dalam mencapai tujuan pemerintah kota, merumuskan tujuan yang dapat berguna sebagai dasar bagi pengembang kebijakan praktis,sebagai
2. Mengembangkan klasifikasi properti dan mengkaitkannya dengan inventarisasi. Sistem klasifikasi seharusnya mengidentifikasi beberapa kategori didasarkan pada tujuan keuangan. Bila diperlukan, dapat juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan pembatasan-pembatasan hukum pada beberapa jenis properti
3. Mengembangkan dan menggunakan peralatan finansial yang spesifik dan stándar-stándar kinerja dalam mengevakuasi kinerja finansial tiap properti kinerja jangka pendek dan jangka panjang. Seharusnya dianalisis, terutama surplus properti, proyek-proyek pembangunan dan keputusan perolehan atau pemakaian atau penjualan seharusnya dievaluasi menggunakan analisis discounted cash flow.
4. Menerapkan pendekatan manajemen portofolio untuk surplus properti dan portofolio aset yang lebih besar. Elemen ini mungkin digunakan elemen lainnya dari manajemen aset telah berjalan dan tersedia cukup info yang dapat diandalkan tentang kinerja finansial dari properti investasi publik

Klasifikasi Penggunaan Aset Berdasarkan
Tujuan Finansial

Penggunaan Aset
Tujuan Finansial
Contoh Aktivitas
Kebutuhan Informasi Finansial
Pemerintah
Memaksimalkan efisiensi, meminimalkan biaya.
Aula Kantor
Biaya, harga pasar
Sosial
Mengukur dan meminimalkan subsidi
Taman, perumahan
Biaya, Subsidi, harga pasar
Surplus
Memaksimalkan Pendapatan
Penyewaan tanah, bangunan
Biaya, pendapatan, harga di pasaran
Sumber : Urban Institute (2000) dalam Wahyudi, tesis 2006
5. Mengembangkan dan mengimpelementasikan kebijakan-kebijakan yang bertanggungjawab merasionalkan permintaan dan konsumsi properti oleh badan-badan dan departemen pemerintah. Beberapa elemen kebijakan bisa berupa :
· Dasar pembenaran dan standar-standar bagi konsumsi tempat (ruang).
· Kantor dengan kualitas yang sederhana.
· Mengelompokan departemen-departemen yang berbeda dalam satu properti.
· Mempertimbangkan suatu pilihan untuk melaksanakan penyewaan disamping perubahan atau perolehan baru.
· Mempertimbangkan pilihan penjualan dan penyewaan kembali.

Beberapa contoh, best practice dalam mengelola manajemen aset/properti publik : di Washington, tujuan pengelolaan properti dirumuskan untuk memaksimalkan pemanfaatan publik dalam jangka panjang dari aset properti. Di Los Angeles, tujuan dirumuskan antara lain menyediakan tingkat pelayanan yang paling efisien kepada warga kota dengan menjamin bahwa aset propertinya mempunyai pemanfaatan terbaik dan tertinggi. Tujuan lain yang dinyatakan oleh pemerintah kota Shenzen, China, adalah properti yang diperlukan atau dibutuhkan masyarakat demi memberikan pelayanan publik yang optimal. Demikian pula di Kualalumpur, Malaysia, sudah lebih maju dengan membentuk UDA, Urban Development Authorityi seperti di Singapura dengan URA/Urban Redevelopment Authority, yang melaksanakan dan mengelola properti publik demi mencapai pelayanan publik yang optimal, efisien, dengan menterjemahkan hasil perencanaan dari institusi pemerintah Kota Kualalumpur, Perancang Bandar.

Pengelolaan Aset Daerah
Dalam penelitain Dicky Wahyudi, 2006, meninjau pula Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Barang milik daerah mempunyai pengertian adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau perolehan sah lainnya yang meliputi :
Barang yang diperoleh dari sumbangan /hibah atau yang sejenis;
Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian /kontrak;
Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Seiring bergulirnya reformasi maka terjadilah perubahan paradigma dalam pengelolaan daerah. Salah satu diantaranya adalah peningkatan pengelolaan aset daerah terutama aset milik pemda yang dapat dioptimalkan (Siregar, 2004:516).
Dalam pengelolaan aset daerah ini, diperlukan peraturan daerah yang mengatur pola pengelolaan asset secara optimal, seperti yang dikemukakan oleh Dick Pratt (1994:88), bahwa “Pembuatan peraturan lokal tentang pengelolaan aset lahan merupakan bagian proses penting yang akan menawarkan asset tersebut ke pasar untuk ditukarkan atau dikelola oleh pihak ketiga”.

Ekonomi Lahan Perkotaan
Dalam membahas suatu masalah perkotaan, yang perlu dikaji adalah lokasi-lokasi kegiatan ekonomi, pertumbuhan kota. Dalam suatu ekonomi pasar, suatu analisis ekonomi mengenai suatu kota dapat digambarkan terjadinya suatu daerah perkotaan, karena pemilik-pemilik berbagai sumber daya produktif beranggapan bahwa akan diperoleh keuntungan apabila sumber daya mereka berada pada lahan perkotaan.
Keuintungan tersebut berupa antara lain :
· Pemilihan lokasi yang tepat;
· Penggunaan teknologi maju;
· Supply tenaga kerja;
· Penghematan biaya transport
Dalam menentukan lokasi kegiatan perkotaan tersebut ada beberapa faktor yang dipertimbangkan antara lain :
Faktor aksesbilitas;
Fasilitas pelayanan sosial ekonomi;
Ketersediaan lahan.
Aspek pengembangan ekonomi pertanahan kota dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
· Kondisi tanah (soil) dan topografi.
· Kadaster pertanahan, registrasi dan bentuk kepemilikan.
· Peraturan tata guna tanah.
· Harga tanah.
· Pajak Pertanahan.
· Fasilitas pemberian pinjaman/kredit pengadaan tanah dan pembangunan (konstruksi).
· Ketersediaan public services.
· Manajemen dan administrasi pertanahan umum.
Dari kedelapan faktor pertanahan kota tersebut di atas sejalan dengan agenda kebijakan otonomi daerah saat ini dimana penting disusun kebijakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya pertanahan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota.
Sumber daya tanah adalah salah satu aset daerah yang harus dikelola secara benar, artinya pemanfaatan jenis aset ini harus terencana dan tertata sejak awal pembentukan suatu wilayah perkotaan yang baik. Dari sisi pemanfaatan pertanahan kota harus ditentukan misalnya land building ratio 40% berbanding 60%, demikian halnya dalam kepemilikan tanah ada land man ratio, yaitu suatu batas luas tanah perkotaan yang dapat dimiliki secara individu (Elmi, 2004:76)

Pengaruh Lahan Terhadap Perkembangan Kota
Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan kota. Orang selalu ingin memilih tanah yang baik, iklim yang baik, dekat pada daerah lain pada daerah lain untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dalam hal ini, harga menentukan permintaan atas tanah serta mempengaruhi persaingan atas tanah.
Di samping itu, fasilitas sosial, fasilitas umum serta infrastuktur di kota juga mempengaruhi perkembangan kota. Faktor-faktor pemikat tersebut bersifat dinamis dan akan selalu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota.(Kodoatie, 2002:56).
Menurut Catanesse et al (1988:51), tidak pernah ada rencana tataguna lahan yang dilaksanakan dengan satu tindakan. Memerlukan waktu yang panjang oleh pembuat keputusan dan dijabarkan dalam bagian-bagian kecil dengan perencanaan yang baik.. Secara umum ada 4 (empat) kategori alat-alat perencanaan tata guna lahan, untuk melaksanakan rencana, yaitu:
1. Penyediaan fasilitas umum.
Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dengan cara melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija).
2. Peraturan-peraturan pembangunan.
Ordonansi yang mengatur pendaerahan, peraturan tentang pengaplingan, dan ketentuan hukum lain merupakan jaminan agar pembangunan oleh sektor swasta tidak menyimpang dari rencana tata guna lahan.
3. Himbauan, kepemimpinan dan koordinasi.
Sekalipun agak lebih informal dari pada program perbaikan modal atau peraturan-peraturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar gagasan-gagasan, data-data, informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan perkembangan masyarakat saat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan developer swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum.
4. Rencana tata guna lahan.
Suatu cara untuk melaksanakan hal itu adalah dengan cara meninjau, menyusun dan mensyahkan kembali, rencana tersebut dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan menciptakan rangkaian berkesinambungan antara rencana tersebut dengan perangkat-perangkat pelaksanaan untuk mewujudkan rencana tersebut
Pola pemanfaatan tanah perkotaan yang baik akan terwujud apabila ada pembenahan pada unsur-unsur berikut ini (Mariana,Pakpahan, 1998:27 dalam Wahyudi,2006):
· Sistem penggunaan tanah
· Keterpaduan antar berbagai pola pemanfaatan tanah yang ada.
· Peran serta masyarakat dan pemerintah
Dalam pembahasan lainnya, Reksohadiprojo (2001:23) mengemukakan bahwa pola pemanfaatan tanah di kota-kota mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
· Bahwa pemanfaatan tanah itu ditentukan oleh scale economies dan aglomerasi;
· Bahwa orang lebih suka pada tempat yang dekat dengan kegiatan (kerja, sekolah, belanja, hiburan, dan lain-lain);
· Bahwa orang juga tergantung pada kondisi lingkungannya.
Pola pemanfaatan lahan perkotaan ini juga mempunyai kaitan dengan perwatakan lahan, yaitu :
· Merupakan aset yang tidak terpengaruh oleh penurunan nilai
· Merupakan aset yang secara fisik tidak bertambah
· Merupakan investasi jangka panjang untuk menyimpan kekayaan, maka lahan selalau akan menjadi faktor penentu yang sangat kuat dalam pertumbuhan dan perkembangan kota (Sujarto, 1991:32)

Kesimpulan
Sepertinya tantangan kedepan dalam mengarahkan Pemerintah Daerah dalam pembangunan kota yang sangat kompetitif serta wilayah spasial keruangannya tidak mungkin lagi bertambah malah semakin berkurang (fenomena pemekaran daerah?), perlu dipertimbangkan dengan segera, bahwa manajemen aset atau pengelolaan properti publik tidak saja terbatas pada infrastruktur pekerjaan umum (IPU), namun untuk mewujudkan pembangunan kota yang baik, pengelolaan aset daerah yang berupa tanah, bangunan, diharapkan mampu membantu mengisi implementasi dari perencanaan kota agar terarah, mengingat dalam perencanaan kota (RUTRW,RDTRK,RTRK) struktur kota akan mudah terwujud apabila yang dipakai untuk mengisi pembangunan kota tersebut adalah aset publik.
Bahkan model-model Bank Lahan seyogyanya bisa segera dipertimbangkan secara formal menjadi bagian dari legalitas publik, hal ini mengingat bahwa negara kita menganut azas demokrasi, sehingga kepemilikan lahan terbesar ada pada rakyat sebagai pemegang demokrasi, oleh karenanya kehadiran bank lahan merupakan salah satu cara bagi pemerintah, pemerintah daerah, untuk mengatur dan mengakomodasikan lahan-lahan milik masyarakat yang tidak mampu mengelola, dapat dikelola sedemikian rupa dalam bentuk simpanan, sharing/unjuk secara partisipatif (contoh Kota Andoloo, ibukota Kab Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara), agar selanjutnya memiliki nilai lahan yang memadai sesuai dengan tujuan pemanfaatan ruang dan rencana tata ruang yang diharapkan, serta memberikan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat secara langsung melalui bagi hasil investasi diatas lahan masyarakat.t
Dipihak lain, perlu adanya SDM bidang Manajemen Aset atau Manajemen Properti yang handal, konsisiten, mengabdi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta berjiwa entreprenuership yang profesional, sehingga mampu memberikan keseimbangan antara kepentingan publik dan privat secara adil demi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang kita cintai. Amien.

DAFTAR BACAAN :
Cadman, David, Property Development, third edition, London 1994
Drabkin, Nathaniel, Land Policy in Planning, UK 1980
Harjanto, Budi, Konsep Dasar Penilaian Properti, Yogyakarta 2003
Haris, Abdul, Pengaruh Penataagunaan Tanah terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi
Kep. Mendagri No .152 tahun 2004 Tentang Pengelolaan Barang Daerah
Kotler, Philip, Marketing Places, Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States and Nation, New York 1993
Kaiser, J, Edward, Urban Land Use Planning, fourth edition, USA 1995
Mariana, Epha, Pakpahan, Moshedayan, 1998, Kajian Pola Pemanfaatan Tanah Perkotaan Secara Efektif dan Effisien Dalam Jurnal Pertanahan No. 14, Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta
Nanthakumaran, N, Property Investment Theory, E & FN SPON, London 1988
Nasution, S, Metode Research(Penelitian Ilmiah), Jakarta 2000
PP. No. 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaaan Barang Milik Daerah
Rapoport, Amos, Human Aspect of Urban Form, Towards a Man – Environment Approach to Urban Form and Design, Oxford 1977
Siregar, Doli D, , “Manajemen Aset”, Gramedia, Jakarta, 2004
The Urban Institute, , ”Municipal Real Property Asset Mangement : An Overview of World Experience”, Issue, financial, Implications. And Housing, Washington,1999
Travis, Ginger, Real Estate Development, Principles and Process, Washington 1991
Watson, Sophie, The Blackwell City Reader, USA 2004
Wahyudi,Dicky, Studi Model Pemanfaatan Aset Lahan Hak Pakai Pemda yang dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang untuk Menunjang Pembangunan Kota (Studi Kasus Kota Subang), Tesis S2, MPPWK,Undip,2006
Worldbank, “Strategic Minicipal Asset Management”, Harley International Limited,2000
Yu, Shi-Ming, Property Investment Decisions, A Quantitative Approach, E & FN SPON, London,1993

1 komentar:

Ragil Triatmojo mengatakan...

http://ragiltriatmojo.blogspot.com/2015/01/mengatasi-masalah-punkbuster-di-game.html
http://ragiltriatmojo.blogspot.com/p/about.html
http://ragiltriatmojo.blogspot.com/2014/09/kartu-antar-muka-jaringan-network.html
http://ragiltriatmojo.blogspot.com/2014/09/mediatransmisi-data.html